Banyak orang menyangka, bahkan ada yang meyakini bahwa hubungan antara ummul mukminin Aisyah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA sangatlah buruk. Mereka ber-ilusi bahwa hubungan buruk itu terjadi dimulai dari peristiwa Hadîtsul Ifki pada tahun 6 H dan puncaknya terjadi pada Waq`atul Jamâl (perang unta) pada tahun 35 H.

Bahkan seorang professor di sebuah universitas Islam membuat pernyataan nyinyir di satu sisi dan ngesok di sisi yang lain saat menyatakan: “saya saja yang jelek begini tidak pernah rebut dengan mertua saya”. Pernyataan ini dilontarkan oleh si professor dalam mengomentari peristiwa perang antara amirul mukminin Ali bin Abi Thalib RA dengan ummul mukminin Aisyah RA.

Bagaimana data-data sejarah yang valid bercerita tentang masalah ini?

Ilustrasi. Peta daerah Tabuk di Arab. (wikipedia.org)

Garis-Garis Kehancuran Para Pengkhianat Perang:

  • Lebih cinta diri sendiri, keluarga dan harta dari gema jihad yang disuarakan Rasulullah Saw.
  • Bersumpah serapah demi melepaskan diri dari beban jihad meski ia harus dipoles dengan seribu satu kebohongan.
  • Menyalahkan gema jihad meski itu datang dari Alquran.
  • Melihat benar dirinya jika duduk bersama dengan keluarga menikmati hasil panen dari menceburkan diri di medan perang yang tidak pasti hasilnya.
  • Lebih memilih yang bersifat duniawi sementara dari yang bernuansa ukhrawi abadi.

Mengarungi medan perang bukanlah perkara remeh. Sebelum kekuatan fisik, asa perlu diasah, niat diteguhkan dan keyakinan digenggam kuat. Siap perang dalam situasi apa pun dapat menjadi ukuran dan cermin tebal-tipisnya keimanan. Yang tahu arti dan hakikat jihad di jalan Allah menyambut baik panggilan suci ini, namun yang di pikirannya hanyalah dunia, enggan menjawab panggilan ini. Jihad bagi kelompok terakhir ini tidak lain kecuali bayang-bayang kematian, kerugian dan kehancuran.