Derita Siti Rokayah Digugat Anak Kandung

Peristiwa
Typography

Seorang anak menggugat ibu kandungnya sendiri gara-gara utang piutang. Cerita ini terungkap saat Pengadilan Negeri Garut menggelar sidang kasus utang piutang yang menyeret Siti Rokayah (83), ibu yang dituntut anaknya, Jumat, 24 Maret 2017.

Sang anak, Yani Suryani, dan suaminya Handoyo Adianto, warga Jakarta Timur, menyeret ibu mereka ke meja hijau setelah saudara Yani, Asep, tak kunjung membayar utangnya. Asep diketahui meminjam uang ke Yani dan suaminya Rp 47 juta pada 2001 dengan jaminan surat dan sertifikat tanah. Setelah sekian lama, Asep hanya mampu membayar Rp 20 juta.

November 2016, Handoyo kembali mempermasalahkan utang piutang itu hingga dibawa ke meja hijau. Anehnya, justru sang ibu-lah yang digugat oleh Yani dan suaminya. Tak tanggung-tanggung, keduanya menggugat Siti Rp 1,8 miliar.

Sebenarnya keluarga telah mengupayakan jalan damai kasus ini. Namun, sang anak tetap menggugat ibunya dan meneruskan kasus ini ke Pengadilan Negeri Garut.

Meski demikian, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang zaman. Siti Rokayah yang akrab disapa Amih selalu mendoakan anaknya agar cepat sadar dan kasus utangnya di persidangan segera selesai.

"Saya selalu mendoakan agar saleh, disadarkan," kata Amih di kediamannya, Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, dilansir Antara, Minggu, 26 Maret 2017.

Dia menuturkan, sebagai ibu, ia tentunya selalu mendoakan kebaikan kepada anaknya, meskipun anak tersebut bersalah kepadanya. Amih selalu menyelipkan doa bagi anak dan menantunya itu setiap ibadah salat wajib maupun tahajud.

"Selalu tiap salat mendoakan anak, waktu tahajud juga suka berdoa," kata Amih.

Ia mengatakan, pihaknya sempat akan membayar Rp 120 juta, tetapi ditepis oleh si anak dan menantunya. "Mudah-mudahan masalah ini cepat selesai, tong mawa kareup sorangan (jangan egois)," kata Amih.

Ia mengungkapkan, jauh sebelum persoalan utang, menantunya itu baik dan sangat perhatian terhadap orangtua. Amih juga menceritakan sempat bertemu dengan anak kandungnya di pengadilan, kemudian menangis mengungkapkan rasa kangen.

"Waktu di pengadilan anak saya nangis, mungkin kangen," kata Siti Rokayah. Apabila kasus tersebut selesai dan memenangkan penggugat, Amih mengungkapkan dengan tulus akan tetap menerima anaknya kembali berkumpul bersama keluarga. "Tidak akan disiapa-siapakan, hubungan baik akan dijaga terus," ujar Amih.

Terkait hal ini, Yani dan suaminya pun angkat bicara. Mereka mengatakan sengaja menempuh proses hukum lantaran sejumlah jalan komunikasi yang ditempuhnya menemui jalan buntu. Gugatan Rp 1,8 miliar, kata suami istri itu, merupakan nilai yang wajar karena sesuai hasil perhitungan kurs rupiah dan emas yang berlaku saat ini.

"Kita tidak bisa melihat nilai dulu dengan nilai sekarang adalah sama. Sebelah rumah ibu yang berada di Jalan Ciledug Nomor 194, harganya waktu itu Rp 40 juta. Harga emas waktu itu sekitar Rp 50 ribuan," kata Handoyo saat ditemui di kediamannya, di perumahan Harapan Indah, Medan Satria, Kota Bekasi, Selasa, 28 Maret 2017.

"Efek dari perkembangan kurs rupiah dan nilai emas dan segala macam, itu kan dalam nilai ekonomi atau dalam kasus-kasus perdata kan harus dipertimbangkan," dia melanjutkan.

Handoyo menjelaskan, peristiwa itu sudah lebih dari 16 tahun. Harga rumah Amih dulu Rp 41.500 dikalikan 1,02 persen. Prosentase itu didapat dari 100 persen ditambah 2 persen lalu dipangkatkan jadi 192.

"Jadi bisa dihitung sendiri berapa nilai itu, dan nilai itu setara dengan perundangan nilai properti yang dijaminkan sekarang," kata dia.

Handoyo menceritakan, perkara ini bermula dari rencana Asep, kakak kandung istrinya, mengajak Amih membuat pabrik dodol di kediaman mereka di Jalan Raya Ciledug, Garut pada 1997 hingga 1998. Saat membangun pabrik dodol itu, Amih dan Asep menjaminkan sertifikat rumah tersebut ke pihak perbankan sebagai modal.

"Sejak awal kami itu tidak setuju, meminjamkan sertifikat rumah sebagai jaminan atau boroh ke salah satu bank swasta. Apalagi rumahnya akan dijadikan rumah dodol," ucap Handoyo.

Namun pada 2001, usaha dodol tersebut bangkrut. Asep lalu meminjam uang ke Yani Rp 40 juta. "Ada penyerahan uang tunai yang tidak diakui oleh kakak kami. Apa mungkin dia sudah lupa karena sudah 16 tahun? Yang pasti kami punya bukti-bukti itu," kata dia.

Nah, saat meminjam uang kepada Yani, sang ibu, rupanya turut menandatangani surat pernyataan kepemilikan utang yang diminta Asep Rohendi.

"Kerugian yang diderita pada 2001 itu, sehingga ibu kami memerlukan bantuan dari kami," ungkap Handoyo.

Sedangkan Yani terpaksa memenuhi keinginan kakaknya untuk menebus sertifikat rumah yang telah digadaikan ke bank. "Padahal, sumber dana kami juga dari bantuan pihak bank," ucap Handoyo.

BLOG COMMENTS POWERED BY DISQUS